[ Rahma Sari] RASULULLAH SEBAGAI PANUTAN

Nama : Rahma Sari

NIM : 1112051100033

Kelas : Jurnalistik 2B

Artikel 3

“ Sungguh pada diri Rasulullah Saw itu terdapat suri teladan yang baik bagi kamu,(yaitu) bagi siapa yang mengharap (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah” ( al-Ahzab :21)

Sebenarnya, setiap orang dapat menemukan pada diri Nabi Muhammad Saw. Suatu keteladanan luhur yang akan mengantar mereka memperoleh rahmat Ilahi serta kebahagiaan ukhrawi. Siapapun dia, baik seorang ayah, suami, anak, negarawan, pemimpin masyarakat maupun militer, semuanya dapat menimba keteladanan dari sumber yang tidak pernah kering ini.

Dalam Al-Qur’an dijelaskan betapa mulia pribadi Rasulullah. Bahkan perihidup Rasulullah adalah praktek hidup dari nilai-nilai Al-Qur’an. Keseluruhan perkataan dan perbuatannya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sebagaimana Al-Qur’an akan lestari sepanjang zaman. Tutur kata Rasul serta perbuatannya member ilham bagi perubahan sikap hidup berjuta manusia di dunia.

Kemurahan dan kerendahan hati Nabi Saw sangat menonjol. Keramahan dan kasih sayang beliau mencakup semua orang. Rasulullah Saw sangat menyayangi anak-anak. Saat bertemu anak-anak , beliau mengucapkan salam kepada mereka sambil menyapa bahkan menggendongnya. Ketika seorang anak pipis di pangkuan beliau, pengasuhnya merebut sang anak dengan kasar. Maka beliau menegurnya, “ Biarkan dia pipis. Ini ( sambil menunjuk pakaian beliau yang basah) dapat dibersihkan dengan air. Tetapi apa yang dapat menjernihkan kekeruhan hati anak ini akibat renggutan yang keras?”

Semoga Allah Yang Mahaagung mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk meniru dan mengikuti jejak langkah Rasulullah sebagai insan  yang benar-benar telah dipilih oleh Allah menjadi cahaya rahmat bagi alam semesta. Alangkah beruntung jika sosok yang kita idolakan itu adalah puncak kesuksesan dari segala sisi.

Ketika kita berusaha untuk meniti jejak Rasul, maka hal itu adalah kebaikan yang melimpah. Tidak sulit bagi kita mencari tokoh panutan paling brilian. Rasulullah Saw adalah uswatun hasanah,suri teladan yang luhur. Michael H. Hart, dalam bukunya Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, menempatkan Nabi Muhammad Saw pada urutan teratas, jauh melampaui tokoh-tokoh dunia lainnya.

Dalam kehidupannya, Rasulullah Saw senantiasa beramal sebelum bicara (bukan sebaliknya). Oleh karena itu, dakwah beliau mempunyai kekuatan ruhiyah yang kuat karena beliau sudah lebih dulu mengamalkan apa yang beliau dakwahkan. Al-Qur’an mengatakan,” Kabura maqtan indallahi an taqullana ma laa taf’alun,”’ Amat besar kebencian di sisi Allah karena kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan’ (ash-Shaff:2).

Mungkin inilah yang harus kita evaluasi. Kita sering menyebut Islam, sering menyebut keterangan-keterangan Islam, tapi perbuatannya : apakah sudah dilakukan atau belum? Jika perkataan tidak selaras dengan perbuatan, itu seperti emas imitasi. Tampak mengkilap, tapi sebenarnya murah harganya.

Rasulullah diutus ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak. “ Innama buitsu liutammima makaarima akhlaq, “ Bahwasannya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemulian akhlak’.

Islam diturunkan oleh Allah bukan hanya untuk satu zaman. Sekarang dianggap zaman modern, tapi kita tidak tahu beberapa puluh tahun kemudian, akan seperti apakah yang disebut modern itu?

Hanya satu hal yang harus diyakini bahwa kebenaran itu selalu aktual. Maka, upaya membangun peradaban ini wajib didahului dengan membangun manusianya. Manusia sampai kiamat tetap manusia. Manusia mempunyai potensi yang tidak dimiliki oleh hewan, yaitu akal pikiran dan hati nurani. Apalah arti teknologi yang serba modern kalau tingkah manusianya primitif ?. Jadi, di zaman apa pun, Islam tetap bisa menjadi solusi Indonesia terpuruk, bukan karena Islamnya yang salah, tapi karena umat Islamnya belum memahami bagaimana indahnya Islam, bagaimana profesionalya Islam, bagaimana produktifnya Islam. Makanya jika ingin meniru orang yang sukses, contohlah diri Rasulullah. Jangan sampai kita keliru dalam menetapkan standar kesuksesan, sebab standar itu ternyata tidak selalu identik dengan kemuliaan.

Apabila kita perhatikan, anak-anak kita sering meniru figur-figur tertentu, namun sayangnya figur yang ditiru sering tak mampu memberikan tata nilai yang baik bagi mereka. Para remaja juga meniru tokoh-tokoh idola tertentu. Padahal figur yang ditirunya malah ada yang mati bunuh diri atau over dosis. Di sisi lain, banyak pula wanita yang meniru mode busana yang serba terbuka, namun akhirnya malah menjatuhkan kehormatan wania itu sendiri.

Bagi orang-orang yang senantiasa berusaha mencontoh Rasulullah Saw. Maka hatinya bergetar, berguncang mengenakan keindahan akhlah beliau. Mengenang pada perjuangan beliau, saat berjuang di medan tempur, beliau tidak pernah gentar terhadap lawan. Beliau selalu berdiri di barisan paling depan dan terdekat kepada musuh-musuhnya.

Mengenang kecintaannya kepada kita semua. Mengenang bagaimana kesabarannya. Mengenang bagaimana kegigihannya dalam memperjuangkan dan membela agama. Mengenang bagaimana indahnya ketika beliau bersimpuh sujud kepada Allah, ketika air matanya berderai, di saat kakinya bengkak karena selalu bangun di malam hari. Mengenang bagaimana kerendahan hati beliau, begitu lembut perangainya, begitu ramah, dan tawadhu kepada siapa pun. Begitu terasa jernih wajahnya, begitu menawan dan memesona senyuman tulusnya, mengenang begitu jernih tutur katanya yang bersih dari kesia-siaan, tak tersentuh oleh kesombongan, padat dan sarat makna, melimpah dengan hikmah.

Mengenang bahwa beliau seorang yang penyayang kepada istri-istrinya dan belas kasih kepada anak-anaknya. Mengenang betapa harum tubuhnya yang selalu bersih, yang tidak pernah lalai membersihkan dirinya, memotong kuku, juga sampai ke hal-hal yang terkecil. Dialah baginda Rasulullah Saw yang kemuliaannya dipuji para penduduk bumi dan langit.

Dia panutan kita, suri teladan bagi kita. Siapa pun yang mencintainya maka akan dibuktikan dengan kesungguhan untuk memahami dan mensuriteladani beliau. Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada baginda tercinta Rasulullah yang mulia, keluarganya, keturunannya, dan umatnya yang menetapi jejak mereka denga  ihsan. Alangkah rugi jika hidup yang sekali-kalinya ini harus diisi dengan kecintaan pada figur-figur lain yang jauh dari keteladanan akhlah Rasul. Orang-orang yang mencintai Rasul, dia akan meniti jejaknya serta hidup berjuang membela risalahnya. Wallahu a’lam.1


1. Abdullah  Gymnastiar, Meraih Bening Hati Dengan Manajemen Qolbu, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002, cet.1), hal 5

 

[Hilda Dziah Azqiah SM] SYAHADAT DAN IMAN

Hilda Dziah Azqiah SM/ 111205110035/ dziah.azkia@yahoo.com/ 083899606318

Artikel 3/ Jurnalistik 2B

Dua kalimat syahadat. Ada tiga tuntutan dua kalimah syahadat yaitu: Pengucapan, pengi’tiqadan, pengamalan.

Maka jika dua kalimah syahadat yang merupakan rukun islam, hanya diucapkan tanpa dii’tiqadkan, niscaya dua kalimah syahadat itu belum lengkap, sehingga pada hakikatnya tidak sah di sisi Allah di gunakan untuk ber_islam”, sebagaimana wudhu’  tidak sah digunakan untuk bershalat, sebelum wudhu’ itu lengkap, walaupun hanya tinggal mencuci ujung kaki.

Pelajaran kalimat tauhid dan dua kalimah syahadat itu, memerlukan ketekunan dan waktu. Mengingat ar-rasul sayyidana muhammad saw. Menyampaikan di makkah lebih dari 12 tahun. Padahal, hanya beliau yang paling cerdas menyampaikannya, dan para sahabatlah yang paling cerdas memahaminya. Itu, juga menunjukkan bahwa kalimat tauhid dan dua kalimah syahadat itu adalah yang paling penting dan yang menentukan sah atau batalnya keislaman seseorang di sisi Allah.

Terjemahan syahadat pada bahasa, adalah penyaksian. Dan tingkatan syahadat/penyaksian itu, lebih tinggi dari pengakuan. Karena, setiap syahadat/penyaksian itu, lebih tinggi dari pengukuan. Karena, setiap yang bersaksi itu pasti mengaku, dan setiap yang mengaku itu tidak pasti bersaksi. Maka dari itu, juga dapat dipahami, bahwa setiap penyaksi” yang tidak mengaku, adalah “penyaksi palsu”.

Semoga Allah memelihara kita dari prasangka, bahwa masih ada muslim mukallaf yang belum melengkapi dua kalimah syahadatnya. Yang penting bagi kita, mengulang-ulangi pelajaran islam. Karena, pelajaran islam itu, walaupun telah diketahui, dan telah diamalkan, namun mempelajarinya tetap berpahala, utamanya pelajaran kalimah tauhid dan dua kalimah syahadat.

Rasulullah saw. Bersabda:

“perbaharuilah iman kalian, dikatakan: hai rasulullah bagaimanaa kami dapat memperbaharui iman kami? Rasul bersabda: berbanyak dari ucapan lailaha illah”. (al-hakim: 7657).

Dan semoga rangkaian ini bukan untuk menilai muslim siapapun. Karena, aqidah itu dalam qalbu, tetapi semoga Allah memberi kita hidayah & taufiq berupa i’tiqad dan keyakinan, bahwa kita masih tetap dalam islam.

Agar seseorang mengenal diri secara benar, maka dia hendaklah beriman dengan jalan memahaminya. Karena, tampa iman kenal diri adalah palsu, dan apa saja yang disampaikan oleh masyayikh/guru-guru dari mas’alah islam, itu hanya bagaikan nayayian-nyanyian. Semoga Allah memberi kita pertolong untuk istiqamah dalam iman dengan memahaminya.

Rasullullah saw. Bersabda:

(“Iman itu) bahwa engkau beriman kepada Allah dan para malaikat-nya dan para rasulnya dan hari akhirat dan engkau beriman kepada takdir yang baiknya dan yang buruknya”. (muslim : 93).

Tingkatan iman itu, adalah di atas tingkatan ilmu. Karena, setiap orang yang beriman itu pasti berilmu, dan tidak setiap orang yang berilmu itu pasti beriman. Contoh fir’aun berilmu tetapi dia tidak beriman.

Dan sebagaian dari ilmu itu, adalah ilmu pasti. Contoh : 2 + 2 = 4, yang kepastiannya dalam qalbu tidak dapat di goda.

Dan bagaimanapun kepastian ilmu pasti itu, tetaplah ilmu. Berarti, hakikat iman itu lebih pasti dari kepastian ilmu pasti, yang berarti iman itu lebih tidak dapat di goda, tetapi manusialah yang dapat dogoda oleh godaan-godaan. Karena, kenyataan iman itu di dunia, tidak seperti kenyataan ilmu pasti, dan iman itu adalah mas’alah yang gaib, yang tidak dapat dicapai atau dijangkau oleh hanya semata-mata ilmu.

IMAN ITU ADALAH UCAPAN LISAN, I’TIQAD QALBU, DAN DIBUKTIKAN OLEH AMAL

 

[Tria Hermalis] Keutamaan Taubat dan Orang-orang yang Bertaubat dalam al Qur’an

Tria Hermalis/ 1112051100054

Artikel 3 / Jurnalistik/ 2 B

Tentang dorongan dan anjuran untuk bertobat, Al Qur’an berbicara: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222). Maka derajat apa yang lebih tinggi dari pada mendapatkan kasih sayang Rabb semesta alam.

Dalam menceritakan tentang ibadurrahman yang Allah SWT berikan kemuliaan dengan menisbahkan mereka kepada-Nya, serta menjanjikan bagi mereka surga, di dalamnya mereka mendapatkan ucapan selamat dan mereka kekal di sana, serta mendapatkan tempat yang baik. Firman Allah SWT:

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan)dosa(nya).” (QS. Al Furqaan: 68-70.).

Keutamaan apalagi yang lebih besar dari pada orang yang bertaubat itu mendapatkan ampunan dari Allah SWT , hingga keburukan mereka digantikan dengan kebaikan?

Dan dalam penjelasan tentang keluasan ampunan Allah SWT dan rahmat-Nya bagi orang-orang yang bertaubat. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: “Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

Ayat ini membukakan pintu dengan seluas-luasnya bagi seluruh orang yang berdosa dan melakuan kesalahan. Meskipun dosa mereka telah mencapai ujung langit sekalipun. Seperti sabda Rasulullah Saw:

“Jika kalian melakukan kesalahan-kesalahan (dosa) hingga kesalahan kalian itu sampai ke langit, kemudian kalian bertaubat, niscaya Allah SWT akan memberikan taubat kepada kalian.” (Hadist diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Hurairah, dan ia menghukumkannya sebagai hadits hasan dalam kitab sahih Jami’ Shagir – 5235)

Di antara keutamaan orang-orang yang bertaubat adalah: Allah SWT menugaskan para malaikat muqarrabin untuk beristighfar bagi mereka serta berdo’a kepada Allah SWT agar Allah SWT menyelamatkan mereka dari azab neraka. Serta memasukkan mereka ke dalam surga. Dan menyelamatkan mereka dari keburukan. Mereka memikirkan urusan mereka di dunia, sedangkan para malaikat sibuk dengan mereka di langit. Allah SWT berfirman:

“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala, ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak -bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari(pembalasan?)kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS.Ghaafir: 7-9).

Terdapat banyak ayat dalam Al Qur’an yang mengabarkan akan diterimanya taubat orang-orang yang melakukan taubat jika taubat mereka tulus, dengan banyak redaksi. Dengan berdalil pada kemurahan karunia Allah SWT, ampunan dan rahmat-Nya, yang tidak merasa sempit dengan perbuatan orang yang melakukan maksiat, meskipun kemaksiatan mereka telah demikian besar.

Seperti dalam firman Allah SWT:

“Tidakkah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang? .” (QS. At-Taubah: 104)

“Dan Dialah Yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan kesalahan-kesalahan.” (QS. Asy-Syuuraa: 25)

Dan dalam menyipati Dzat Allah SWT: “Yang mengampuni dosa dan menerima taubat.” (QS. Ghaafir: 3)

Terutama orang yang bertaubat dan melakukan perbaikan. Atau dengan kata lain, orang yang bertaubat dan melakukan amal yang saleh. Seperti dalam firman Allah SWT dalam masalah pria dan wanita yang mencuri:

“Maka barangsiapa yang bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu, dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Maaidah: 39)

“Tuhanmu telah menetapkan atas diriNya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya, dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al An’aam: 54)

“Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat setelah itu, dan memperbaiki ( dirinya) sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 119)

Puja-puji terhadap Allah SWT dengan nama-Nya “at-Tawwab” (Maha Penerima Taubat) terdapat dalam al Quran sebanyak sebelas tempat. Seperti dalam do’a Ibrahim dan Isma’il a.s.:

“Dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 128).

Juga seperti dalan sabda Nabi Musa kepada Bani Israil setelah mereka menyembah anak sapi:

“Maka bertaubatlah kepada Tuhan Yang menjadikan kamu, dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu, pada sisi Tuhan Yang menjadikan kamu, maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang .” (QS. Al Baqarah: 54)

Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya:

“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa: 64)

Memaknai kesalehan sosial

Tria Hermalis/ 1112051100054

Artikel 2/ Jurnalistik/ 2 B

Seorang telah dianggap berbuat saleh seakan-akan sama dengan berbuat kebaikan. Padahal, kesalehan itu sama sekali sangat jauh persamaannya dengan kebaikan, Kesalehan adalah perbuatan yang berdampak positif  setelahnya. Ada nilai-nilai kebajikan yang didapatkan sesudah mengamalkan suatu perbuatan yang wajib, sunah, boleh dan baik. Anda belum tentu saleh apabila telah berbuat baik menurut pandangan kebanyakan manusia. Misalnya, anda membantu seorang nenek menyeberangi jalan raya. 
Perbuatan yang telah anda lakukan itu bukan amal saleh, melainkan amal kebaikan. Amal kebaikan ditekankan untuk tidak berlaku diam bila anda sanggup melakukannya tanpa menyoal apakah ada kebajikan sesudahnya. Dalam contoh di atas, anda sebatas membantu menyeberangkan seorang nenek agar terhindar dari kecelakaan. Sesudah nenek di seberang, anda tidak lagi memperhatikan bagaimana sikap, perbuatan, aktivitas dan sebagainya dari nenek tersebut. Tetapi, anda akan diberi pahala oleh Allah karena turut membantu nenek yang sudah pikun selamat dari bahaya lalu lintas di jalan raya.

Perbuatan anda akan menjadi saleh dari contoh tersebut bila anda memahami adakah nenek tersebut akan menjadi lebih sehat ketika sampai di rumah, bagaimanakah nenek tersebut bila tidak ada yang menjaganya, adakah setiap hari dia dapat memperoleh makan, lalu anda memberikan perhatian sepenuhnya untuk nenek tersebut sebagaimana yang anda perhatikan. Artinya, anda tidak sebatas menolong nenek menyeberangi jalan, tetapi memperhatikan lebih untuk membantu kesudahan nenek tersebut dalam menjalani kehidupan di lingkungan keluarganya!

Amal perbuatan anda dapat dikategorikan amal kesalehan yang bersifat sosial bila mengamalkan seperti contoh tersebut di atas. Jadi, kesalehan sosial bermakna sebagai perbuatan yang dapat mendatangkan kebajikan sesudah suatu perbuatan yang bersifat sosial itu dilaksanakan.

Banyak kalangan, baik dari pemerintah maupun masyarakat dan swasta, berbuat kebaikan tetapi tidak berdampak positif sesudahnya. Sepertinya telah menolong, tetapi menjadikan yang ditolongnya tak mampu untuk berubah secara positif (baik). Ambil contoh program pengentasan kemiskinan. Satu sisi, pemerintah merasa bertanggung jawab untuk mendistribusikan kesejahteraan rakyat, maka digulirkan program bantuan modal usaha untuk kelompok usaha menengah ke bawah! Syaratnya adalah yang menerima modal betul-betul wiraswasta! Modal pun disesuaikan dengan perkembangan usaha! Akan tetapi, program ini tidak difollow up (tindak lanjut) bagaimana manajemen wirausahanya, pemasarannya, kualitas produknya dan sebagainya. Anda pasti kebingungan sekiranya usaha anda tidak berkembang dapat perguliran bantuan modal tetapi tidak ada pembinaan dari pemerintah lebih lanjut. Anda hanya mengulang modal tanpa memiliki starategi usaha yang dapat berkembang! Walhasil, usaha kelompok menengah ke bawah mengalami stagnasi dan kebingungan!

Konsep keberpihakan kepada masyarakat sudah dilakukan, tetapi tidak berdampak positif kesudahannya; usaha yang dibantu dengan permodalan tidak mengalami kemajuan yang berarti! Pemerintah telah beramal baik secara sosial, tetapi tidak dapat disebut sebagai berbuat kesalehan sosial.

Dalam Islam, amal saleh itu merujuk kepada perintah dan larangan Allah! Contoh, perintah Allah SWT kepada kaum beriman untuk mengingat Allah sebanyak-banyaknya agar hatinya menjadi tenang! Maka, sekiranya seorang mukmin berdzikir lalu hatinya tidak tenang berarti dzikirnya belum berdampak positif kesudahannya! Dzikirnya dapat pahala bila dilakukan! Tetapi, hakikatnya belum tercapai, yaitu ketenangan jiwa (hati)!

Anda seharusnya menjadi semakin tenteram atau tenang bila berdzikir kepada Allah! Sekiranya terjadi sebaliknya, berarti ada yang salah dalam berdzikir! Patutkah seorang mukmin berdzikir tetapi akalnya masih mendominasi perbuatan jahat? Ketenteraman hati bagi seorang pelaku dzikir apabila hatinya lah yang berdzikir, bukan semata-mata lisannya! Dzikir yang menenangkan adalah dzikir yang berdampak langsung kepada hati! Maka, sekiranya lisannya berdzikir sementara hatinya tidak, yang terjadi tetap tidak mengukuhkan ketenteram hati! Dzikir jasmaniah (lisan) sangat jauh berbeda dengan dzikir ruhaniah (hati atau ruh).

Allah SWT Mendengarkan suara hati yang sedang berdzikir, sekali pun tidak ada orang lain yang mendengarkannya. Ada nilai yang paling utama dari dzikir di hati (dzikir khofi). Pendekatan kepada Allah SWT dengan penghampiran lahiriah cenderung diajak tidak sebagaimana hakikatnya. Setiap amal lahiriah berdampak lebih cenderung jasmaniah bila belum mengetahui hakikatnya. Sekiranya shalat masih bersifat jasmaniah (adanya bacaan dan gerak), maka sulit menjangkau dampak ruhaniahnya.  Akan tetapi, sekiranya shalat dilakukan secara jasmaniah (adanya gerak dan bacaan solat) dan secara ruhaniah (berupaya memaknai setiap bacaan solat di dalam hati atau ruh), maka dampak shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (hakikat solat). Ada dampak positif  kesudahannya, inilah amal soleh dari suatu perbuatan yang bersifat ruhaniah.