Rahma Sari/1110002050033
artikel 1/ Jurnalistik 2B
Pernah ada seseorang yang matanya ditutup, disuruh berjalan, akhirnya menangis. Mengapa ? Karena setiap langkahnya penuh dengan keraguan. Ia merasa setiap langkahnya selalu beresiko. Mungkin terpeleset, jauh dari tangga, kepala terantuk, atau tubuhnya membentur dinding. Begitulah kira-kira, kalau kita tidak mendapatkan cahaya dalaam hidup ini. Lalu baaimana kalau hati kita tidak mendapatkan cahaya kebenaran ?
Berada di lorong gua yang gelap memang sangat merepotkan. Setiap langkah tidak pernah tenteram dan selalu dicekam kecemasan. Begitupun orang yang tidak mendapatkan tuntunan dari Allah. Hidupnya akrab dengan kecemasan. Perasaan yang ada hanya takut. Takut tidak kebagian dunia, takut oleh manusia, takut mati, dan lain-lain. Persis seperti orang yang masuk ke dalam rimba belantara. Walaupun membawa bekal, tapi tidak membawa peta. Bekalnya banyak tapi takut habis, akhirnya dia pun panik.
Orang yang tidak mendapat hidayah dari Allah, hidup di dunia ini terasa lelah, takut, tegang, wawas, cemas, gelisah, dan bingung, Tidak sedikit orang kaya malah menderita dengan kekayaannya. Kekayaan yang melimpah ruah jusru semakin membuatnya sengsara, semakin kaya semakin banyak barang yang harus dijaganya. Sementara semakin mahal barang, boleh jadi semakin menyiksa. Takut hilang, biaya perawatan tinggi, mengundang minat pencuri, memunculkan sifat ingin dipuji orang lain, dan sebagainya.
Disisi lain, ada pula yang mennyangka bahwa dengan kedudukan, penampilan, dan gelar maka seseorang akan memperoleh kemuliaan. Dia menganggap kemuliaan itu datang dari gelar. Akibatnya, dia kasak-kusuk ke sana kemari memburu kedudukan dan gelar. Kuliah tidak, sekolah tidak, tiba-tiba bertitel Master, Ph.D, SH. Mati-matian ikut BL ( body language), tapi makin lama makin tua, tidak bisa tidak. Meskipun memakai masker mentimun, tomat, dan semacamnya, tetap saja akan menjadi tua, kulit keriput, dan mulai bersisik.
Lalu mengapa orang sampai mau membeli gelar, membohongi dirinya sendiri? Padahal, semua itu tidak ada artinya kalau dia tidak mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah untuk menjadi orang yang kenal kepada agama. Setinggi apa pun gelar atau kedudukannya,setiap manusia pasti akan mati. Pejabat tinggi sekalipun ujung-ujungnya pensiun lalu mati. Yang menjadi masalah adalah akhir pensiunnya, apakah namanya akan menjadi harum atau malah menjadi hina gara-gara kedudukannya?
Orang yang jauh dari agama, jauh dari Al-Qur’an, apa pun yang diberikan Allah kepadanya pasti hanya akan membuat dirinya hina. Harta, gelar, pangkat, jabatan, atau penampilan yang diberikan Allah, kalau tidak diiringi dengan ketaatan kepada Allah, pasti akan menyiksa. Hidupnya hiruk pikuk, rebutan, sikut sana, sikut sini. Tidak peduli aturan, tidak peduli etika.
Dalam Al-Qur’an surah asy-Syams ayat: 8, Allah SWT berfirman, “ Dan Allah telah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan”. Dengan kata lain, setiap orang sebetulnya sudah diberi fasilitas oleh Allah. Dia mau baik atau buruk bergantung pada kesungguhan dan ketaatannya dalam mengikuti petunjuk Allah.
Lebih lanjut, dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 73, Allah SWT berfirman,” Dan janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu. Katakanlah, sesungguhnya petunjuk yang harus diikuti ialah petunjuk Allah”.
Dari ayat di atas tersirat bahwa kita harus senantiasa mengikuti petunjuk yang Allah gariskan, yakni dengan bersungguh-sungguh mencari hidayah Allah,sebab hanya dengan begitu seseorang akan memperoleh kebaikan. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw. “ Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang,maka dia diberi pendalaman dalam ilmu agama”. ( HR. Bukhari).
Buya Hamka, semoga Allah memuliakan dan merahmati beliau, pernah menyatakan bahwa hidayah itu seperti pesawat terbang. Kalau landasannya sederhana, mendarat adalah helikopter. Jika landasan agak bagus maka bisa didarati pesawat jenis capung. Jika lebih baik lagi mungkin bisa twin otter, lebih mantap lagi oleh cassa, lebih bagus lagi mungkin jumbo jet. Allah telah menyiapkan segalanya untuk kita. Tiap-tiap sesuatu sepadan dengan ketahanan kita. Pertanyaannya adalah kita bersungguh-sungguh merindukan hidayah itu atau tidak ?
Sebagai contoh, Cat Steven, seorang penyanyi ternama yang sangat merindukan siapa Tuhan. Dia menjelajah ke sana sini dan mencari terus. Sampai kakaknya memberinya the Holy Quran, Kitab Al-Qur’an. Dia baca dan pelajari Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh hingga akhirnya dia terarik, lalu masuk Islam. Begitulah, setiap orang yang bersungguh-sungguh mencari hidayah Allah, pasti Allah akan memberikan jalan. Sebagaimana firman Allah, “ Dan orang-orang yang berjihad (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat ihsan (baik).” ( al-Ankabut:69) Oleh Karena itu, yang menjadi masalah adalah bukan soal hidayahnya, tetapi apakah kita telah bersungguh-sungguh dalam mencarinya.
Akhirnya, di samping tetap istiqamah dalam meraih hidayah Allah, kita pun harus terus memanjatkan doa, “ Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbii’ alaa diinika. Rabbanaa laa uzziqh quluubana ba’da idz hadaitana wahablanaa min ladunka rahmah innaka antal wahhab,” ‘ Wahai Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku di atas Agama-Mu. Yaa Rabb, jangan palingkan hati kami sesudah Engkau beri kami petunjuk. Dan karuniakan untuk kami dari sisi-Mu kasih sayang. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi. Semoga Allah yang membolak-balikkan hati, menetapkan hati kita pada dinul Islam. Semoga hati kita tidak dipalingkan, dicabut nikamat iman ini, setelah kita memperoleh hidayah Allah.
Langkah paling awal untuk meraih hidayah ini adalah dengan terus mencari ilmu sekuatnya. Tiada hari tanpa mncari ilmu, tiada hari kecuali betrambah amal dan tiada hari kecuali menambah bersih hati kita. Makin banyak ilmu kita, makin produktif dalam beramal, dan makin bening hati kita. Mudah-mudahan dengan ilmu yang diamalkan dan keikhlasan beramal, maka akan menjaga kita dari dicabutnya nikmat Allah yang termahal, yakni hidayah. Amin. Wallahu a’lam.1
1. Abdullah Gymnastiar, Meraih Bening Hati Dengan Manajemen Qolbu, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002, cet.1), hal 9